Saya sungguh sangat benci
penerbangan pertama. Bagi saya, penerbangan paling pagi itu sungguh sangat
mengganggu stamina saya, karena tidur yang sangat kurang. Maklum saya seorang
insomnia. Termasuk pagi ini, saya harus terbang ke Makassar jam 2
pagi dari Bandara Soekarno Hatta. Ya, sepagi itu, karena harus mengejar
penerbangan selanjutnya ke Selayar. Memang, penerbangan ke Selayar ini masih sangat terbatas, hanya beroperasi sekali sehari, pukul 8.55 pagi dari Bandara
Hasanuddin Makassar. Kali ini saya pergi bersama 4 orang yang belum sama sekali
saya kenal sebelumnya. Kami berlima sedang ditugaskan untuk membuat ulasan
mengenai keindahan Indonesia Timur, untuk itulah kami disini.
Mengunjungi
Selayar memakan waktu sekitar 7-8 jam dari Kota Makassar lewat jalur darat.
Tapi kali ini, saya hanya menempuh kurang dari 25 menit via udara. Wow. Ini
kali pertama saya naik pesawat dengan jangka waktu sesingkat ini. Tiba di
Selayar, saya langsung diantar guide menuju penginapan. Waktu sudah
menunjukkan pukul 10 pagi dan saya sudah siap dengan 'senjata' andalan saya.
Celana pendek warna khaki, kaos oblong, topi, tas kecil, dan kamera tentunya.
Kali ini saya hanya membawa Go Pro Hero 4, Fujifilm X-1, dan kamera ponsel
Iphone. Cukuplah untuk memotret semua keindahan Selayar ini, pikir saya.
Benteng,
sebagai ibukota Kepulauan Selayar, masih jauh dari kata modern. Sangat
sederhana, tapi inilah uniknya. Memiliki luas sekitar 10.000 km2, kota ini
cukup tenang, tidak banyak 'aksesoris'. Tidak banyak
sepeda motor dan mobil berlalu lalang disini, karena mungkin berkeliling
kota Benteng hanya butuh jalan kaki, atau bersepeda. Sejenak saya mampir
ke Pasar Rakyat Benteng. Ini letaknya di pusat Kota Benteng, tepat disamping
Lapangan Rakyat. Sungguh sangat mudah menemukan pasar ini, tetapi pastikan kita
mengunjungi pasar ini di waktu yang tepat. Karena kalau tidak, mungkin kita
hanya menemukan tenda-tenda kosong tanpa penjual. Pasar ini hanya beroperasi
mulai jam 7 pagi hingga 12 siang setiap harinya. Suasana pasar kali ini tidak
terlalu ramai namun menyenangkan. Mungkin sebagian orang bertanya-tanya untuk
apa jauh-jauh bepergian kalau cuma mengunjungi pasar. Tetapi inilah kuncian
saya setiap bepergian, living like local. Sungguh
kemanapun saya pergi, saya sangat risih bila dijuluki seorang turis. Menurut
saya, sebutan traveler lebih ramah di telinga. Sementara turis sibuk dengan
paket perjalanan yang lengkap dan cenderung berkelas, traveler lebih fleksibel dalam menikmati perjalanannya yang
sederhana namun tetap menarik.
Pasar Rakyat Benteng, sebuah pasar tradisional di Kepulauan Selayar |
Itulah juga yang terjadi di
pasar ini, saat beberapa anak kecil sibuk berbisik-bisik membicarakan kehadiran
kami.
“Eh, nia turis rinni”, seru
salah seorang anak kepada teman-temannya.
Teman-teman saya yang belum
mengerti bahasa mereka hanya saling melempar pandang sambil mengernyitkan dahi.
Saya hanya tersenyum dan menghampiri segerombolan anak kecil itu.
“Weh, bukan dek. Hehe!”
Mereka lalu terkekeh dengan
jawaban saya. Setali tiga uang dengan teman-teman saya. Mereka heran dengan logat
saya yang mampu menyesuaikan dengan bahasa Makassar Selayar.
“Saya cuma polyglot wanna be, tidak fasih betul kok, masih patah-patah”, sahut saya saat ditanya mengenai kemampuan bahasa yang saya miliki. Ada keseruan tersendiri bagi saya dalam menyimak dan mempelajari bahasa dan kebudayaan setempat dimanapun saya bepergian.
“Saya cuma polyglot wanna be, tidak fasih betul kok, masih patah-patah”, sahut saya saat ditanya mengenai kemampuan bahasa yang saya miliki. Ada keseruan tersendiri bagi saya dalam menyimak dan mempelajari bahasa dan kebudayaan setempat dimanapun saya bepergian.
“Oooh,
seru juga yah.”
Yeay. Senang rasanya bisa menginspirasi. J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar